7.5.08

Ketika Puisi dan Prosa Saling Bertaut

Judul : Matahari Diatas Gilli
Penulis : Lintang Sugianto
Penerbit : Republika
Cetakan : II, September 2007
Tebal : vi + 547 halaman



Sebuah novel yang mengisahkan kehidupan seorang perempuan bernama Suhada yang memiliki kepedihan hati amat mendalam di masa lalu, karena ternyata, Mamak yang selama tujuh tahun mengurusnya bukanlah ibu kandungnya. Di masa kecilnya itu pula, ia tak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ayah. Kemudian ia harus rela menjalani kehidupan menjadi pembantu rumah tangga di kota agar bisa mengenyam pendidikan hingga lulus SMA. Cerita berlanjut dengan hadirnya Suamar –seorang pemuda dari Pulau Gilli- dalam kehidupan Suhada. Mereka menikah dan hidup di Pulau Gilli, sebuah pulau kecil dengan panjang sekitar satu setengah kilometer dengan lebar lima ratus meter yang terletak di sebelah Barat kota Probolinggo, bersama dengan Pak Lurah, Bu Lurah, Pak Haji, Umi, Buk No, penduduk dan anak-anak Gilli yang berjumlah 6.800 jiwa.

Di Pulau Gilli inilah, konflik mulai bergulir satu per satu. Dimulai dari kegigihan Suhada dalam memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak Gilli yang tidak diperkenankan untuk bersekolah oleh para orangtua mereka. Lalu, dilanjutkan dengan hukum adat Gilli yang bertentangan dengan akal pikirannya. Ditambah lagi dengan kepergian Suamar untuk mencari nafkah ke pulau seberang ketika dirinya sedang hamil. Semua itu belum ditambah dengan kesedihan hati yang dialami oleh Buk No, keinginan orang tua Suamar yang menginginkan anak semata-wayangnya itu tetap tinggal di Pulau Gilli, kebencian penduduk Gilli terhadap Suhada yang merupakan pendatang baru, dan semua itu ditutup akhir cerita yang mengejutkan, benar-benar sulit ditebak.

Lintang Sugianto, yang memiliki latar belakang sebagai penulis puisi, menulis Matahari Diatas Gilli dengan pemilihan diksi yang amat beragam, terlihat dari banyaknya istilah-istilah yang dipakai. Selain itu penggunaan majas metafora yang selalu digunakan untuk menggambarkan sesuatu, dan penyisipan puisi-puisi indah yang begitu melukiskan perasaan yang dialami sangat membangun suasana yang sedang terjadi dalam cerita tersebut ditambah lagi dideskripsikan dengan sangat detail. Membuat kita larut dan hanyut terbawa dalam suasana. Satu hal yang menarik adalah Mbak Lintang tidak hanya menggambarkan keresahan hati akan sesuatu dari sudut pandang Suhada, tetapi juga tokoh-tokoh yang lain.

Di satu sisi, hal diatas menyebabkan novel ini begitu emosional dan sangat mengagumkan. Gaya menulis Mbak Lintang sangat indah, menghanyutkan dan puitis.

Di sisi lain, dilihat dari kacamata remaja pada umumnya, hal tersebut membuat kita letih dengan banyaknya puisi yang ada, ditambah dengan bahasa yang begitu ”berat” sehingga cenderung membosankan dan kehilangan nilai prosanya karena terlalu didominasi oleh bahasa puisi. Menurut saya novel ini tidak cocok bagi kita, para remaja pada umumnya, karena bahasa yang digunakan agak ”berat” , penggunaan istilah yang sedikit membingungkan, pengandaian yang bertele-tele dan gaya bahasa yang terlalu puitis, sehingga otak kita perlu berpikir lebih keras untuk mencerna makna yang terkandung dari novel ini. Akhirnya, berujung pada kebosanan dan rasa kantuk yang dahsyat.

Selain itu, banyak terdapat penulisan kata-kata yang tidak baku seperti syahwad, parabot, dan simbul. Kata-kata diatas seharusnya ditulis syahwat, perabot, dan simbol. Entah kesalahan dalam pengetikan, ataupun ada alasan lain, tetapi tetap saja hal itu cukup mengganggu.

Bagaimanapun juga tak dapat dipungkiri bahwa novel ini sarat akan makna. Sebagai novel yang mengusung tema sosial dan cinta, yang terselip pula nasionalisme yang begitu menggugah semangat, dan nilai pendidikan, novel ini sangat menginspirasi.

Novel ini mengajarkan pada kita bahwa harus bersyukur kepada Tuhan atas segala yang telah kita dapat, terutama masalah pendidikan, ternyata masih ada saudara sebangsa kita yang belum bisa mengenyam pendidikan seperti kita. Selain itu, yang paling esensial adalah novel ini memuat pesan untuk selalu menghormati adat-istiadat sesuai dengan tempat kita berada, sebagaimana makna dari pepatah ”Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung”.

Bagi para remaja yang mengharapkan bacaan ringan dengan bahasa yang sederhana untuk mengisi waktu luang, tampaknya novel ini takkan pas untuk anda. Akan tetapi, apabila anda tetap ingin membacanya, niscaya pengorbanan anda takkan sia-sia, karena novel ini amat sarat akan makna. Bagi para pencinta puisi, penggila sastra, dan pemuja sesuatu yang puitis, novel ini amat cocok untuk dibaca. Selamat buat Mbak Lintang, yang telah membuat sebuah novel yang amat indah dan bermakna.